Sudah kita ketahui bahwa mayoritas penduduk Indonesia makanan pokoknya adalah nasi, bahkan lebih dari 150 juta penduduk kalau belum makan nasi rasanya belum makan meskipun sudah makan roti tiga bungkus. Dan rata-rata penduduk Indonesia sehari makan tiga kali sehingga kebutuhan akan nasi menjadi sangat tinggi. Melihat potensi pasar yang sangat besar tersebut mendorong unilever untuk membuat nasi instant yang diharapkan bisa memenui kebutuhan masyarakat indonesia yang mayoritas makanan pokoknya adalah nasi, sehingga lahirlah produk unilever yang dinamakan TARA NASIKU .
Tara nasiku diawal peluncurannya (tahun 2000) menggunakan media untuk promosi yang besar-besaran bahkan bintang iklanya pun tidak tanggung-tanggung memakai rudi khoirudin(pakas masak tingkat nasional),dan pihak manajemen unilever membackup besar-besaran untuk mensuksesan produk ini.
Diawal peluncurannya masayarakat cukup dibuat penasaran untuk mencoba produk baru dari unilever ini tetapi mereka rata-rata membeli hanya sekali dawal saja selanjutnya tidak berulang lagi pembeliannya.
Setelah dilakukan evaluasi ternyata kondisi ini terjadi disemua tempat sehingga memaksa pihak unilever untuk melihat ulang akan keberadaan produk ini.
Usut punya usut ternyata yang menyebabkan kegagalan penjualan tara nasiku ini adalah Kelemahan Tara Nasiku yang mencolok adalah untuk menghasilkan nasi instan yang optimal, maka mesti dimasak dengan Teflon, hal inilah yang cukup menyulitkan konsumennya. Selain itu, rasa Tara Nasiku kurang berkenan di lidah kita (ataukah karena cara masaknya yang tidak benar ya ?). Pada intinya, ekspektasi akan rasa dan “instan” dari iklan Tara Nasiku ternyata tidak dipenuhi :
1. Rasanya gak gitu enak
2. Nasinya masih keras (kayak makan nasi yg baru di aron)
3. Daripada beli Tara Nasiku mendingan beli nasi goreng tek-tek yg lewat di depan rumah. Jelas rasanya lebih enak
ANALISA
Kegagalan taranasiku ini disebabkan oleh :
Tara Nasiku dari Unilever ini merupakan contoh merek yang gagal untuk menghadirkan inovasi baru di pasar Indonesia. Mulanya produk-produk ini dibuat untuk menggebrak pasar makanan instan, Namun ternyata mengubah budaya itu tidak mudah. Mie instan berhasil merubah budaya makan Indonesia, tapi tidak demikian halnya dengan nasi goreng instan. Nasi adalah makanan utama sedangkan mie instan adalah makanan sampingan. Tidak mudah bagi orang Indonesia makan nasi dengan mengolahnya secara instan. Atau secara teori suatu produk bisa sukses dipasaran apabila memperatikan : (Jahja B, Soenarjo, Chief Consulting Officer Direxion Consulting) :
• Market readiness atau kesiapan pasar untuk menerima produk baru. kalau target market-nya belum siap, maka produk tersebut pasti akan terhambat.
• Edukasi pasar yang berkelanjutan. Edukasi bukan berarti promosi semata. Membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk mengubah pola pikir dan mengubah budaya.
• Unconfirmity, yang berarti ketidaksesuaian benefit yang ditawarkan dengan ekspektasi pasar atau permintaan laten. “Menciptakan” permintaan bukanlah hal yang mudah. Jika tidak ada latent demand yang kemudian digiring menjadi permintaan efektif, maka bisa menimbulkan kegagalan merek.
Selain itu Perlu effort yang luar biasa untuk merubah habit dan persepsi konsumen bahwa nasi itu ya NASI = beras yang dimasak dengan kadar air dan suhu tertentu. Lebih dari itu, Nasi juga merupakan sesuatu yangsangat kental dengan kultur Indonesia sehingga dapat memberikan sugesti yangl uar biasa yang susah di gantikan dengan product substitution.
Penyebab kegagalan yang lain adalah disebabkan oleh manajemen yang terlalu memaksakan produk dan tidak memperhatikan hal-hal seperti Awareness, Availability, Affordability, Benefit deficiency or lack of benefit, dan Very useful or unable to use sehingga mayoritas konsumen tidak melihat banyak keuntungan yang dirasakan dalam proses penyajiannya dan juga habitat konsumen yang sudah terbiasa dengan produk instan lain dibandingkan nasi instan. Tara nasiku gagal dalam proses memasaknya yang terlalu rumit dan rasanya yang kurang enak.
KESIMPULAN
Sukses suatu produk sangat tergantung :
1. Awareness, Apakah perusahaan mampu menciptakan awareness bagi produk tersebut dalam waktu singkat?
2. Availability, Apakah perusahaan memiliki kemampuan dalam mendistribusikan produk tersebut dalam waktu singkat sehingga dapat diperoleh di gerai-gerai terdekat dengan konsumen?
3. Affordability, Apakah harga yang ditawarkan produk tersebut terjangkau oleh konsumen?
4. Benefit deficiency or lack of benefit, Apakah manfaat yang ditawarkan produk tersebut penting dan bernilai bagi konsumen?
5. Very useful or unable to use, Apakah produk tersebut cukup mudah digunakan?
Dari bahasan diatas dapat dilihat bahwa :
1. Sebenarnya perusahaan sudah dapat membuat produk yang mampu memenuhi keinginan segmen yang selama ini belum ada produk yang masuk di segmen tersebut., tapi karena kurang mampu membaca dengan tepat keinginan konsumen sehingga menyebabkan kurang berhasil.
2. Sebenarnya perusahaan punya jaringan distribusi yang sangat kuat, sehingga kalau untuk mendistribusikan ke seluruh Indonesia bukan masalah yang sulit bagi unilever.
3. Harga yang ditawarkan tara nasiku terlalu mahal, sehingga dengan menambah sedikit saja sudah bisa membeli nasi goreng biasa.
4. Manfaat yang ditawarkan sebenarnya bisa menjawab kebutuan konsumen
5. Ternyata point inilalah yang menyebabkan taranasiku gagal yaitu dalam menyajikan ternyata tidak mudah sehingga pesan instant yang ingin ditonjolkan pada produk ini menjadi gagal tot
Tidak ada komentar:
Tulis komentar