Maskapai Garuda Indonesia baru-baru ini menawarkan program pensiun dini untuk para pegawainya hingga 19 Juni 2021. Upaya tersebut dilakukan demi menyelamatkan keuangan perusahaan.
Kondisi tersebut membuat banyak karyawan Garuda Indonesia cemas. Mereka terancam kehilangan pekerjaannya. Selama pandemi Garuda Indonesia memiliki kondisi keuangan perusahaan yang buruk akibat tertekan rugi dan utang.
Tercatat hutang yang dimiliki perusahaan ini adalah senilai 4,9 miliar dolar Amerika atau setara 70T dalam Indonesian Rupiah. Nilai hutang tersebut terus meningkat sebesar 1 triliun rupiah per bulan karena pembayaran yang tertunda. Nilai sebesar itu merupakan denda dari pemasok apabila tidak membayar tagihan tepat waktu.
Hutang yang menggunung tersebut bisa terjadi karena pemasukan perusahaan yang tidak sebanding dengan pengeluaran operasional. Biaya operasionalnya saja sudah tidak bisa ditutupi dengan uang yang masuk ke arus kas. Akibatnya Garuda Indonesia memiliki arus kas negatif dan hutang minus Rp. 41.000.000.000.000 (41 Triliun).
Bulan Mei 2021 Garuda Indonesia memperoleh pendapatan $56 juta namun biaya sewa pesawat juga bernilai sama. Belum lagi biaya perawatan pesawat, bahan bakar avtur dan gaji pegawai yang masing-masing bernilai $20 juta. Jika dikalikan 3 maka pengeluarannya sudah minus $60 juta. Ketimpangan biaya pengeluaran dan pemasukan inilah yang membuat kondisi keuangan perusahaan semakin tidak stabil.
Menteri BUMN Erick Thohir ikut angkat bicara terkait kondisi maskapai ini. Dia akan berusaha mempertahankan ribuan karyawan agar tetap bekerja di Garuda Indonesia. Wabah COVID-19 telah meruntuhkan industri penerbangan di semua negara di dunia. Maskapai luar negeri pun banyak yang mengalami kejatuhan lebih parah dibandingkan Garuda Indonesia.
Belajar dari Merpati Airlines
"6 tahun lalu di bulan yang sama, Oktober 2015 ada surat dari pemegang saham untuk merekturisasi Merpati. Cukup panjang memang," kata Asep Ekanugraha, direktur merpati di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Akhirnya, Merpati berupaya membenahi perusahaan dengan mengikuti tiga rekomendasi dari PT Perusahaan Pengelola Aset, yaitu mendirikan anak perusahaan, menyelesaikan karyawan, dan merestrukturisasi utang. Pada 27 Januari 2016, lahirlah dua anak usaha Merpati yang bermain di bisnis yang berbeda, yaitu Merpati Maintenance Facility dan Merpati Training Center. Saat ini, kedua anak usaha tersebut telah memperoleh sedikit keuntungan.
"Saat itu (mereka) dilahirkan dalam kondisi yang memang perusahaan induknya sudah setop beroperasi dari tahun 2014. Jadi ada tantangan tersendiri," kata dia. Pada bulan berikutnya, Merpati menyelesaikan kewajibannya kepada 1.532 karyawannya yang memiliki hak atas gaji dan atau pesangon. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.441 karyawan merupakan karyawan tetap.
"Cukup berat penyelesaian karyawan ini bahkan dalam beberapa hal juga kami menghadapi tuntutan dan pengadilan yang sampai di beberapa kota di seluruh Indonesia," ucapnya. Dia melanjutkan, pada 2018, Merpati dituntut oleh pengadilan atas Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pasalnya, pengadilan memutuskan utang Merpati yang harus dibayarkan mencapai Rp10,9 triliun.
"Perjalanan itu juga 14 November 2018 kami capai homologasi, artinya merpati saat itu proposal yang diajukan dipercaya dan diberi kesempatan kreditor untuk jalankan bisnis sesuai yang diajukan. Yang nantinya akan mampu selesaikan kewajiban terhadap kreditur," tutur Asep Ekanugraha, direktur merpati tahun 2019.
Dari berbagai sumber : kaskus, inews
Tidak ada komentar:
Tulis komentar